13.7.09

Sore ini, 13 Juli 2009















"jadilah pejuang, jangan jdi anak mami", kata beliau sore ini.
Kuteteskan perlahan didalam cangkir berisi Indocafe,
lalu ku biarkan berbaur sejenak
dengan beberapa molekul aroma khas tembakau kediri. kelu,...malu pikirku.
Rasanya seperti bangkai yg sedikit mewangi sukma
saat bibir ini merasakan getar hangat hasil peleburan
antara tiga subsistem yg dilahirkan dari dunia berbeda.
hanya sebaris kalimat saktinya, sebungkus Indocafe klasik
dan sebatang sigaret dengan aroma khas kediri yg begitu pilu...sahutku!

10.7.09

Titip Rindu Buat Ayah

Ritual rutin ayah: pagi sepi, ia sedang duduk dengan segelas kopi hitamnya yang telah dibuatkan ibu. Juga beberapa sigaretnya yang sejak semalam telah habis sekitar 10 batang. Entah apa yang selalu dipikirnya, saat pagi buta beliau sangat menikmati hembusan asap sigaretnya yang mengepul. Seolah hendak menyapa pagi. Begitulah kiranya…

Dan ketika fajar mulai menanjak, beliau kemudian ke pekarangan rumah. Disitu begitu banyak bunga-bunga yang beraneka warna. Juga beberapa tanaman obat yang selalu diminumnya. Maklum beliau bukanlah orang yang suka dengan resep dokter. Seingatku, beliau belum pernah merasakan rawat inap di rumah sakit. Di pekarangan itu, beliau asik menyapa bunga-bunga lewat air yang diberikannya. Maklum, beliau adalah tipe lelaki yang romantis meskipun sedikit egois. Dan ibu adalah tipe perempuan yang tidak begitu menyukai bunga. Sungguh perbedaan yang begitu nyata, namun membawa kebahagiaan dengan beberapa riak gelombang rumah tangga. Saya percaya, mereka begitu banyak perbedaan. Hingga saatnya, beliau kemudian menuju dapur di belakang rumah. Beliau kemudian mengambil beberapa “diskon”.Saya menyebutnya diskon, yaitu semacam pakaian dinas untuk seorang pekerja yang setiap harinya berada di kebun. Maklum, saya bukanlah anak seorang pegawai negeri ataupun swasta yang setiap paginya mengenakan pakaian dinasnya untuk pergi bekerja.

Seingatku, seperti biasanya bunyi-bunyi beberapa parang yang sedang ditajamkan itulah yang setiap paginya menampar tidurku. Ternyata pagi telah tiba, dan seperti biasa aktivitas akan dimulai. Dengan beberapa lauk seadanya hasil masakan ibu, akhirnya cukup buat digunakan sebagai energi untuk bekerja hingga siang. Saat matahari tepat berada diatas kepala, saatnya untuk pulang ke rumah. Di rumah, telah ada beberapa masakan yang disiapkan oleh ibu seolah menyambut sang pangerannya tiba. Seingatku beliau selalu tersenyum, saat menatap hasil masakan ibu yang sangat dicintainya. Kami tak lupa membersihkan badan dan kemudian menuju dapur kesayangan tempat segala keceriaan yang begitu polos. Dapur seolah menjadi tempat kumpul keluarga yang begitu damai. Disitu, bisa melihat tawa nenek yang telah ompong. Apalagi saat nenek makan adalah saat-saat yang paling ditunggu oleh saya dan kedua adik perempuanku. Seperti itulah kiranya…

Saat siang mulai beringas, sholat adalah penetralisirnya. Beliau kemudian asik lagi duduk di kursi kesayangannya dengan ditemani kepulan asap sigaretnya. Tak lupa juga segelas kopi hitam di gelas jumbo kesayangannya. Entah telah berapa kali, ibu sering mengingatkan hingga bahkan bertengkar hanya karena masalah rokok dan kopi. Alasan ibu adalah seperti pada umumnya naluriah seorang perempuan yang disamping sangat menyayangi orang dicintainya juga untuk menghemat pengeluaran sebagai bendahara termasyhur dalam keluarga. Saya bisa menebaknya…

Saat siang telah meninggi, beliau kemudian merebahkan badannya seolah ingin beristirahat dari aktivitasnya sejak pagi. Saat itu, saya juga mengikuti isyarat yang disampaikan oleh beliau untuk segera beristirahat karena sedikit lagi keberlanjutan aktivitas akan dimulai. Seperti sedia kala, bunyi-bunyi itu kemudian mulai menamparku, padahal terik mentari masih tinggi. Terdengar segelas kopi yang mulai diaduknya karena ibu sedang pergi ke rumah sepupunya. Seketika, saya dibangunkan oleh jeritan ayah yang tiba-tiba berteriak. Sejenak terlihat, sesosok tubuh yang mulai renta sedang muntah-muntah. Terlihat jelas kerutan-kerutan di pipinya dengan wajah yang sedang memelas, seolah penuh harap bahwa apa yang dirasakannya agar segera berakhir. Saat itu beliau terpaksa berbaring dengan jeritan yang begitu pedih terdengar. Tak terasa, air mata ini menetes saat melihat sosok ayah yang sedang terbaring dengan telanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek. Wajah beliau sungguh merah namun tak lagi bercahaya seperti tadi pagi. Seluruh badannya seolah ingin memberontak untuk menekan suhu di dadanya yang begitu panas dirasakannya. Suhu itu seolah-olah telah membakar beberapa bagian didalam dadanya. Saya hanya bisa duduk disamping menemani bersama beberapa tokoh masyarakat yang ingin mengobati. Di rumah telah begitu banyak orang. Ibu pun juga telah ada disamping sambil memegang tangan ayah yang seolah ingin meninggalkan kami sekeluarga. Seorang imam telah membisikkan beberapa kalimat sakti ditelinganya. Kalimat itu adalah dua kalimat syahadat yang sesuai keyakinan keluarga kami. Sayangnya, ayah masih kuat untuk menahan gejolak cobaan dari-Nya. Beliau adalah lelaki yang kuat mentalnya, tak pernah menyerah hingga tetes darah terakhir. Begitulah kiranya…

Kerutan wajah penuh pelas dan jeritan yang keluar dari mulut yang mulai berbusa, juga beberapa tetes air mata yang keluar darinya seolah memberi tanda bahwa apa yang dirasakannya adalah sebuah derita. Banyaknya uban di kepalanya juga memberi tanda begitu banyak penderitaan hidup yang telah dirasakannya, namun tak seperti kini.
Ayah, wajahmu saat itu selalu terkenang. Jeritmu seolah menamparku saat terlena oleh waktu. Saya hanya anak yang tak tahu harus membalas apa padamu. Segala perjuanganmu yang tak ingin kusebut dengan pengorbanan. Do’akanlah agar anakmu ini juga bisa sepertimu yang kelak mengajarkan kesederhanaan pada cucu-cucumu nanti. Semoga_