26.3.09

Mudik euy ;)



jadi, kangen...

Politisasi Linear

Sumber inspirasi: Kiat-kiat Sukses: Sebuah Pendekatan Qur’ani Untuk Membangun Kualitas Diri & Kehidupan, K.H. M. Rusli Amin, MA.

Banyak orang bersikap “baru mau menjalin hubungan dengan orang lain, apabila ada keperluan”. Ketika ada keperluan, orang bisa sangat dekat dengan orang yang diperlukan, bahkan sampai mau menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk menelfon, berkunjung, memberikan sesuatu, menunjukkan sikap baik, etc. Oleh karenanya, sikap dan perbuatan itu hanya didasari oleh kepentingan pribadi yang lebih besar.
Seperti biasanya, orang yang baik atau dekat dengan seseorang: karena ada kepentingan. Bila kepentingannya telah terpenuhi, maka kebaikan dan kedekatannya tidak kelihatan lagi, tidak ada lagi telfon untuk sekadar silaturahmi, untuk sekadar menanyakan kabar, seperti yang sebelumnya selalu dan berulang kali dilakukan, tidak ada lagi kunjungan, apalagi mau memberikan sesuatu.
Menjalin hubungan karena ada kepentingan berakibat lahirnya hubungan-hubungan yang semu antara manusia, karena dibangun atas kepentingan-kepentingan sesaat. Hal ini, akan menunjukkan bahwa kita memperlakukan orang lain tidak lebih dari sekadar komoditas. Dan hal itu juga secara jelas akan berimplikasi pada sikap memilih-milih orang yang dijalin hubungan dengannya. Ketahuilah, bahwa segala yang kita lakukan sudah seyogyanya berlandaskan atas perintah dari-Nya. Hal inilah yang disebut: karena DIA Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang pada semua ciptaan-Nya.
Kita adalah khalifah yang telah dititahkan oleh-Nya. Yang lebih sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Olehnya itu, kita harus memaknai “Asmaul Husna” untuk mengurusi bumi ini. Untuk memberikan kedamaian dan kemakmuran…

Jangan menunggu ada keperluan kita kepada orang lain, baru menjalin hubungan dengan si-dia/mereka, baru menyatakan cinta dan sayang pada si-dia/mereka, baru kita mengunjungi rumah si-dia/mereka, baru hendak memberikan salam pada si-dia/mereka.
Jalinlah hubungan dengan sesama manusia, berkunjunglah, sampaikanlah salam, doakanlah mereka, berikanlah kelebihan dari rezeki kita, bantulah orang yang memerlukan bantuan, berilah senyum, tanyakan kabar mereka dan keluarga mereka. Maafkanlah kekeliruan dan kesalahan mereka. Berterima kasihlah atas kebaikan orang pada kita, tanpa memandang besar/kecil kebaikan tersebut. Sambunglah silaturahmi, sebab ia memanjangkan umur dan meluaskan rezeki. Sambunglah silaturahmi, meskipun kepada orang yang telah memutuskan tali silaturahim kepada kita sekalipun. Berbuat baiklah, bahkan sekalipun kepada orang yang berbuat jahat kepada kita. Berilah, sekalipun kepada orang yang kikir pada kita. Tanamlah benih-benih kebaikan, pasti kita akan menuai hasilnya. Begitulah kiranya, petuah untuk memperbaiki sisi Humanistis kita!

Kau, Aku dan Dia

Sumber inspirasi: Falsafatuna, Muh. Baqir Ash-Shadr.
­
Engkau adalah suatu potret artistik yang luar biasa, sementara dia adalah sarana yang kubutuhkan untuk mengungkap corak-corak kreativitas dalam potretmu, yang bisa menyingkap rahasia-rahasia artistikmu, yang membekali dengan bukti demi bukti tentang adanya anugerah terindah dari Yang Mahabijaksana.
Engkau adalah potret abadi yang membuat rasa kagum, takjub dan mengkuduskan. Demikianlah penafsiranku tentang keberadaanmu, yang tak jauh berbeda denganku secara materi. Oleh karenanya, kita selalu berada dalam gerak dan perkembangan yang terus-menerus. Ini adalah fakta yang sama-sama kita sepakati. Dan materi membutuhkan sebab yang menggerakkannya. Sementara dia (sebab) telah termanifestasikan secara non-materi, yang secara esensial memiliki asal dari Sang Derajat Kesempurnaan.
Dia bukanlah realitas objektif. Dia hanya bisa terasionalisasikan melalui indera-indera eksternal. Olehnya kita takkan pernah membutuhkan prinsip kausalitas untuk mengungkap eksistensinya. Kita hanya masih sepakat dengan teori ketakpastian Heisenberg juga prinsip gelombang Louis de` broglie.
Kita,
Hanya ibarat “riwayat dua sungai” yang tertulis dalam buku buneq itu…
Yang penuh kelokan dan tipuan, yang harus terus sembunyi dari bahasa kejujuran.
entah sampai kapan ?