28.7.08

Ilmuwan, Rekayasawan, Tekhnisi dan Tukang

Ilmu pengetahuan dan teknologi sendiri dapat kita bayangkan memiliki semacam spektrum. Diujung yang satu kita temukan ilmu. Mereka yang berkecimpung didalamnya, para ilmuwan bekerja untuk menemukan cakrawala baru pengetahuan yang menyangkut sifat segala yang tampak. Dengan istilah yang sejalan dengan agama, mencoba memahami ciptaan Tuhan. Menyusul langsung dibelakangnya adalah para rekayasawan. Mereka inilah yang 'menerjemahkan' semua temuan para ilmuwan kedalam azas dan cara baru yang berguna bagi manusia. Untuk tugas seperti itu diperlukan daya cipta yang tinggi. Setelah itu menyusul para tekhnisi. Kelompok inilah yang terlatih sehingga memiliki keterampilan dalam menerapkan dan melaksanakan yang direka oleh para rekayasawan. Akhirnya adalah para tukang. Mereka terampil dalam melakukan jenis kerja yang sifatnya berulang-ulang.

6.7.08

bhgia = f (proses) = hasil

'bahagia adalah kesetiaan dalam sebuah proses kehidupan,...oleh karenanya bahagia tersimpan dalam proses bukan pada hasil'
ketika qt telah menetapkan suatu pilihan dalam hidup qt, maka seyogyanya qt harus konsisten dan komitmen untuk menjalani pilihan hidup dengan penuh rasa tanggung jawab. yah,...seharus dan seideal-nya sih seperti itu...
tetapi kadang juga ada yg tidak pernah meminta maaf dengan apa yg telah dijalaninya, seolah2 ia melakukan pembenaran dengan apa yg dilakukannya yg kemudian disebut sbg pilihan hidup itu.
namun, ada baiknya jg jika qt sering bertafakkur sejenak sekadar untuk mengakrabi diri...
yah, mungkin seperti itulah hal yg sedang kujalani...
jika saat ini aku tak menginginkan kesarjanaan...seolah2 hanya ingin menikmati ilmu dalam sebuah kesetiaan proses akan pilihan yg ku-ambil, maka
sudah saatnya juga jika aku harus sarjana... (tabe' karaeng... 6 taon mo ko)

1.7.08

'Untuk Dia yang berani mencintai-Ku'

saat ku duduk, baginya saat ku berdiri
saat ku berdiri, baginya saat ku berlari
saat ku berlari, kemudian tertatih...letih...perih
baginya saat ku berhenti sejenak
saat ku dekat, baginya saat ku jauh
saat ku jauh, baginya saat ku dekat
saat ku lupa, kemudian hilang...gelap...pekat
baginya saat ku mengingat nama-Nya
kasih,
cinta tidak mencari sebab diluar dirinya sendiri
cinta tidak mencari hasil
ia adalah hasilnya sendiri
aku cinta karena aku cinta
aku cinta agar aku dapat cinta
cinta dari Yang Maha Cinta
kasih,
adakalanya kata-kata tak bisa diungkapkan oleh lisan
maka manusia bisa minta tolong pada pena
dan aku adalah salah satunya
naluriku berkata bahwa nurani itu ada
tatkala itu nuraniku berteriak
"kehendak adalah kejahatan, kejujuran adalah kebimbangan"
aku hanya insan biasa
aku tak sanggup berpesan sebab semuanya kalah oleh kesan
aku tak sanggup berkata sebab semuanya telah buntu diatas asa
kini,
saat kusebut 'Untuk Dia yang berani mencintai-Ku'
saatnya kujujur 'Untuk Aku yang berani mencintai-Mu'

Pesan Taufiq Ismail





Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’IM
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta API penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, Tuhan baru,
diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita
di kamar tidur ketika melayani para suami
yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur
ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang
yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok,
di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’IM
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, Tuhan baru,
diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan…

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
Dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan API dan sesajen asap tuhan-tuhan ini

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.